Ketegasan Negara Menghadapi Reuni 212 dan Ancaman Ideologi Transnasional

Caption : Ketum PNIB AR Waluyo Wasis Nugroho atau Gus Wal

 

 

Opini :Suawarno

 

 

SOLO/JAWA TENGAH, ASPIRANEWS.ID –  Rencana penyelenggaraan Reuni 212 yang kabarnya akan digelar di sejumlah kota besar kembali memunculkan perdebatan publik. Bagi sebagian kalangan, acara tersebut disebut sekadar ajang temu kangen. Namun bagi kelompok lain, momentum ini dipandang memiliki potensi dimanfaatkan oleh jaringan ideologi transnasional yang selama ini berseberangan dengan prinsip dasar negara.

Sikap kritis ini salah satunya datang dari Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB). Ketua Umum PNIB, AR Waluyo Wasis Nugroho atau Gus Wal,dalam pernyataannya di Solo, menegaskan bahwa Indonesia harus bersikap tegas menolak Reuni 212. Menurut PNIB, pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan adanya kelompok-kelompok berhaluan khilafah dan jaringan ekstremis yang mencoba memanfaatkan ruang-ruang publik untuk konsolidasi politik maupun ideologis.

Baca Juga:  Polres Tanjungperak Fasilitasi Tempat Latihan Pesilat Untuk Ajang Silaturahmi dan Prestasi

Pernyataan ini bukan tanpa konteks. PNIB menilai bahwa pasca dibubarkannya HTI dan FPI melalui Perpu Ormas, sejumlah eks simpatisan masih berupaya mencari momentum kebangkitan. PNIB khawatir Reuni 212 menjadi salah satu ruang itu. Mereka menilai, apabila dibiarkan, acara semacam ini berpotensi menghadirkan instabilitas sosial yang tidak diperlukan.

Gus Wal juga membandingkan pendekatan Indonesia dengan negara lain dalam menangani kelompok serupa. Malaysia diketahui menindak tegas ajaran Wahabi yang dianggap memicu kegaduhan sosial. Arab Saudi menerapkan hukuman berat terhadap penyeru khilafah dan aksi terorisme. Sementara Amerika Serikat memasukkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi terlarang karena dianggap menjadi inspirasi ekstremisme global.

PNIB menilai bahwa berbagai contoh tersebut memberi pelajaran bahwa ancaman ideologi transnasional bukan persoalan lokal. Negara harus hadir dan responsif.

Baca Juga:  Tepati Janji, Kapolres Nganjuk Serahkan Kunci Bedah Rumah Sebelum 1 Juli 2023

Dalam perspektif PNIB, ketegasan aparat seperti Densus 88, BNPT, Polri, dan TNI menjadi kunci. Mereka menegaskan bahwa ruang bagi berkembangnya paham yang bertentangan dengan Pancasila harus ditutup serapat mungkin agar tidak menimbulkan ancaman terhadap persatuan nasional.

PNIB juga menyoroti perlunya pengawasan terhadap kelompok atau entitas politik yang ditengarai memiliki kedekatan ideologis dengan jaringan internasional tertentu. Bagi PNIB, toleransi terhadap ideologi yang bertentangan dengan konstitusi hanya membuka celah bagi konflik horizontal.

Pada akhirnya, seruan PNIB adalah sederhana namun tegas: negara tidak boleh lengah. Jika ada kegiatan yang berpotensi ditunggangi kelompok ekstrem, termasuk Reuni 212, pemerintah dan aparat harus bersikap jelas—bukan sekadar menunggu keadaan membesar.

Baca Juga:  Polisi RW di Surabaya Hadir Beri Solusi, Penjual Kopi Bisa Berjalan Lagi

Dalam negara demokrasi, kebebasan berkumpul adalah hak warga. Namun kebebasan itu juga memiliki batas ketika mengancam keamanan publik dan ideologi negara. Tantangannya kini adalah bagaimana Indonesia bersikap adil, proporsional, namun tetap waspada.

Reuni 212 mungkin hanya sebuah agenda tahunan bagi sebagian orang. Tetapi bagi PNIB, acara itu menyimpan risiko yang harus diperhitungkan. Pada akhirnya, pilihan ada pada negara: mengizinkan dengan pengawasan ketat atau menolak secara terang demi keselamatan publik. Yang jelas, kewaspadaan tidak boleh kendor.

Oleh : Suawarno

 

Pos terkait