BEM PTNU SOROTI PUTUSAN MK PEMISAHAN PEMILU NASIONAL DAN LOKAL : DISINTEGRASI PEMILU DAN TANTANGAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL

Caption : Sekretaris BEM PTNU Arip Muztabasanimenyatakan sikap tegas menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK),

 

JAKARTA – ASPIRANEWS.ID – Arip Muztabasani selaku Sekretaris Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (BEM PTNU) Se-Nusantara menyatakan sikap tegas menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Dalam pandanganya, putusan tersebut tidak selaras dengan amanat konstitusi, khususnya prinsip kedaulatan rakyat, efisiensi penyelenggaraan negara, serta kesetaraan politik warga negara. Putusan ini bisa dianggap bertentangan secara normatif dengan semangat Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemisahan pemilu secara tidak terintegrasi berpotensi menurunkan keadilan elektoral. Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 sebelumnya secara tegas menyatakan bahwa pemilu serentak adalah bentuk penguatan sistem presidensial. Serentaknya pemilihan Presiden, DPR, dan DPD menciptakan keseimbangan antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, mencegah kooptasi kekuasaan, dan menjaga efektivitas pemerintahan. Dengan memisahkan pemilu, potensi disharmoni antara pusat dan daerah justru meningkat. Ini bertentangan dengan prinsip checks and balances yang dijamin dalam UUD 1945.

Baca Juga:  5 Warga Jember,Senyum Sumringah di Halaman Polres Jember, Ini Alsanya,,!

Arip Muztabasani mencatat bahwa pemilu yang dipisahkan justru berisiko melanggar asas-asas pokok demokrasi konstitusional, diantaranya 08 Juli 2025

– Asas Efisiensi Pemerintahan
Dijamin dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pemilu yang terfragmentasi akan menambah beban anggaran, menimbulkan kelelahan politik berkepanjangan, dan merusak efisiensi negara.

– Asas Persamaan Hak Pilih dan Keadilan Politik
Dengan pemilu yang berbeda jadwal, tidak semua warga akan punya momentum politik yang setara. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law dan keadilan elektoral.

– Asas Kepastian Hukum
MK justru menciptakan ketidakpastian hukum dengan mengubah pola pemilu secara inkonsisten, membatalkan preseden sendiri dari putusan sebelumnya (Putusan MK 14/PUU-XI/2013 dan Putusan MK 55/PUU-XVII/2019).
Lewat analisis kajian ini arip selaku sekretaris nasional BEM PTNU se Nusantara menyerukan beberapa point, antara lain :

Baca Juga:  Polres Nganjuk Gelar Patroli Skala Besar Jelang dan Pasca Pembacaan putusan MK PHPU Pilkada 2024

1. DPR RI dan Pemerintah menunda pelaksanaan putusan ini hingga ada peninjauan menyeluruh terhadap dampaknya secara hukum, sosial, dan fiskal.
2. KPU tidak tergesa-gesa dalam menyusun skema pemilu yang baru tanpa basis hukum transisi yang kuat.
3. Mahkamah Konstitusi membuka ruang pengujian ulang terhadap putusan tersebut melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) konstitusional, bila memungkinkan.
4. Mahkamah Konstitusi harus membuka ruang partisipatif yang luas dari berbagai elemen dalam menjelaskan putusan tersebut mengingat putusan ini akan membajak kedaulatan rakyadan amanat konstitusi.

Kami khawatir putusan ini tidak melalui kajian multidisipliner secara komprehensif. Demokrasi tidak boleh dijalankan dengan logika semata-mata administratif. Harus ada kesetiaan pada semangat konstitusi. Sebagai bagian dari gerakan intelektual muda Nahdlatul Ulama, Arip menyatakan komitmennya untuk terus mengkritisi kebijakan yang dianggap melemahkan demokrasi. Demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi tentang keadilan elektoral, efisiensi sistem, dan hak rakyat untuk memilih dalam suasana yang utuh dan setara.

Baca Juga:  Bermula Membuat Konten Prank di Pekanbaru Riau Kini Irzan Menjadi Content Creator Sukses

(Swr)

Pos terkait